Dana Kerja Wakil Gubernur Rp 56 Miliar Diduga Salahi Aturan
http://atjehjustice.blogspot.com/2015/03/dana-kerja-wakil-gubernur-rp-56-miliar.html
Justice Aceh - Banda Aceh, Awal Maret 2015, aktivis anti korupsi Aceh menemukan sejumlah bukti kwitansi pencairan proposal lewat Dana Kerja Wakil Gubernur (DKW) Aceh, tahun 2009-2010. Nilainya tidak tanggung-tanggung, mencapai Rp 56 miliar.
Untuk tahun 2009 berjumlah Rp32,6 miliar, dicairkan melalui sejumlah kwitansi bernominal Rp 30 hingga ratusan juta. Masa pencairan terhitung April hingga Desember 2009. Sementara tahun 2010 senilia Rp23,6 miliar, pencairan terhitung Mei hingga Desember 2010.
Hasil analisis atas kwitansi, pihak aktivis menemukan adanya kejanggalan pada sistem pencairannya. Selain hanya berbekal disposisi seadanya, sebagian besar dana diduga tidak sampai ke tangan para pihak atau nama-nama yang dibubuhkan dalam kwitansi. Dugaan kejanggalan terbanyak terdapat pada kwitansi pencairan tahun 2009.
Adapaun akumulasi pencairan tahun 2009, dihitung per triwulan, antara lain, untuk Triwulan I (April, Mei,Juni) jumlah keseluruhan Rp5,2 miliar dengan rincian; Rp2,372 miliar (April), Rp888 juta (Mei), dan Rp1,971 miliar (Juni).
Triwulan II, Rp8,8 miliar dengan rincian; Rp1,405 miliar (Juli), Rp1,616 miliar (Agustus), dan Rp5,789 miliar (September). Triwulan III, Rp18,556 miliar dengan rincian, Rp10,564 miliar (Oktober), Rp1,7 miliar (November), dan Rp6,202 miliar (Desember).
Tahun 2010, jumlah keseluruhan untuk Triwulan I (Mei-Juni-Juli) Rp13,175 miliar, dengan rincian; Rp159 juta (Mei), Rp1,818 miliar (Juni), dan Rp11,197 miliar (Juli). Triwulan II, Rp8, 092 miliar (Agustus), Rp1,513 miliar (September), dan Rp390 juta (Oktober).
Dibulan November Rp1,933 miliar dan Desember Rp2,895 miliar. Jumlah keseluruhan dana di tahun 2010 ini berjumlah Rp23,2 miliar dicairkan sama seperti ditahun 2009 yakni pada beberapa kwitansi dengan pecahan puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Atas temuan tersebut, Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani mendesak auditor Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit investigasi terkait dana tersebut.
Dalam pasal 278 Qanun No 1 tahun 2008, katanya, pemeriksaan pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan Aceh dilakukan oleh BPK. Dikuatkan lagi dalam UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
“Analisa kami, pencairan dana ini tidak hanya melanggar Pasal 30, 31 dan 32 UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan negara dan Pasal 55 ayat 2, 3 serta pasal 56 ayat 3 UU No 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan negara, tapi juga ada dugaan unsur korupsinya,” tegas Askhalani.
DKW tahun 2009-2010 tersebut, tambah Askhal, menjadi pintu masuk untuk mengaudit semua dana kerja lainnya. Baik itu, Gubernur atau Pj Gubernur yang jumlahnya puluhan miliar. “Data awal ini sebagai langkah awal tim audit dan penyidik untuk mengusutnya,” pinta Askhal.
Sementara itu mantan Wakil Gubernur Aceh periode 2007-2012, Muhammad Nazar menanggapi dugaan adanya indikasi korupsi dan menyalahi aturan perbendaharaan negara atas dana ini.Katanya, tidak ada yang patut diributkan dan disalahkan terkait DKW yang ia kelola waktu itu.
Menurutnya, provinsi yang diberikan Dana Kerja Gubernur dan Wakil Gubernur (DKG-W) oleh Pemerintah Pusat hanya Aceh dan Papua. Hal ini dikarenakan Aceh dan Papua sedang dalam masa teransisi pasca konflik yang melanda daerah itu.
Dana kerja itu diberikan untuk berbagai kegiatan Gubernur dan Wagub, termasuk bantuan kepada warganya dimasa teransisi itu. “Maka, semua ini mestinya tidak perlu diungkit-ungkit lagi. Bila ini diungkit-ungkit sama halnya menghitung kembali pemberian kepada para pihak yang menerima,” tegas Muhammad Nazar kepada hanadaily.com, Selasa, (10/3/2015).
Apa yang disampaikan mantan Wagub Aceh Muhammad Nazar tersebut ada benarnya. Berdasarkan data habadily.com pada 22 Desember tahun 2009, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pernah menyurati Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Surat dengan No. 903/4669 itu, Irwandi meminta diberi dispensasi dan keluwesan menggunakan dana kerja Gubernur Aceh yang dialokasikan dalam APBA 2009 Rp 68 miliar. Dispensasi dimaksud agar penggunaan dana kerja Gubernur Aceh tidak diaudit oleh aparat pengawas fungsional seperti, BPK, BPKP, Irjen Depdagri, Inspektorat Aceh serta institusi pengawas lainnya.
Atas surat itu, sempat terjadi debatan dikalangan dewan. Sayed Fuad Zakaria, selaku Ketua DPR Aceh waktu itu, menilai permintaan Irwandi Yusuf tersebut aneh karena bertentangan dengan Undang-undang (UU) Pengelolaan Keuangan Negara dan UU Pengelolaan Daerah.
Prinsip dari pengelolaan keuangan negara, katanya, satu rupiah pun uang negara atau uang rakyat yang dibelanjakan pemerintah wajib dipertanggungjawabkan penggunaannya dan penggunanya harus siap diperiksa oleh badan pengawas fungsional baik itu BPK atau BPKP.
Anggota Komisi C, DPR Aceh T Surya Dharma Ali juga menilai permintaan Gubernur Aceh pada Mendagri ini tidak masuk akal dan tidak akan dipenuhi Mendagri bahkan Presiden SBY. Kalau permintaan itu akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan di Indonesia sebab Gubernur dari Provinsi lainnya juga akan meminta hal sama.
Surat Irwandi Yusuf tersebut, dibalas Mendagri melalui surat No. 580/10/SJ tanggal 5 Januari 2010. Isinya Mendagri meminta Gubernur Aceh membuat pakta integritas, tapi Mendagri tidak menjamin dana kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh tidak diaudit oleh lembaga pengawas fungsional seperti BPK, BPKP, Irjen Depdagri dan lembaga berwenang lainnya. | Habadaily.com