Kasus Korupsi CT-Scan: Mantan Dirut RSUZA Tersangka
http://atjehjustice.blogspot.com/2014/07/kasus-korupsi-ct-scan-mantan-dirut.html
Ilustrasi . dok kickstarter.com
Justice Aceh - Banda Aceh - Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh, berinisial dr TM resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat skrining pemeriksaan organ dalam jenis CT-Scan, di RSUZA setempat, tahun 2008 lalu.
Dalam pembelian alat baru pengganti rontgen tersebut, negara diindikasikan rugi sampai Rp15 miliar, dari pagu anggaran Rp39 miliar lebih. Penyidik Kejati Aceh, juga menetapkan mantan kepala sub-bidang prasarana program RSUZA, berinisial TN menjadi tersangka di kasus ini.
Kasipenkum Kejati Aceh, Amir Hamzah SH mengatakan, Taufik Mahdi ditetapkan menjadi tersangka, pada 1 Juli 2014. “Dari dua bentuk pengadaan ini indikasi korupsinya mencapai Rp15 miliar. Rp7,4 miliar lebih untuk CT-Scan dan 7,9 lebih untuk kardiologi,” kata Amir di ruang kerjanya, seperti dilansir harianaceh.co, Rabu (2/7/2014) siang.
Menurut Amir Hamzah, semua program pengadaan alat kesehatan di RSUZA Banda Aceh tahun 2008 ini, diketahui oleh TM, Direktur RSUZA saat itu. Dalam kasus ini kedua tersangka dijerat pasal 2 dan 3 Undang-undang Tipikor.
Data harianaceh.co, kasus tersebut pertama kali mencuat setelah Pansus XII DPRA (periode lalu) melakukan kunjungan ke RSUZA, awal Agustus 2009. Saat itu dewan menemukan berbagai kejanggalan pada pengadaan alat medis di sana. Tim Pansus DPRA menduga ada penggelembungan harga terhadap pengadaan CT-scan dan MRI, di RSUZA Banda Aceh.
Jumlah pagu keseluruhannya pada 2008 mencapai Rp46,6 miliar, masing-masing Rp 17,6 milyar untuk CT Scan, dan Rp39 miliar untuk MRI. Nilai kontrak pengadaan CT-Scan yang mencapai Rp17,6 miliar per unit itu dinilai terlalu mahal, jika dibandingkan dengan harga alat yang sama pada distributornya di Jakarta (Siemens), yang hanya sekitar 1,1 juta dolar AS atau Rp11 miliar per-unit.
Namun, kemudian Kejati Aceh menyatakan pengadaan CT Scan dan MRI tidak terdapat kerugian negara, sehingga Kejaksaan Agung mengambil alih penanganan kasus itu dari Kejati Aceh. Tim Kejagung juga sudah beberapa kali memeriksa beberapa staf dan Direktur RSUZA. Tapi kasus itu tetap saja mengambang.
MaTA dan GeRAK Aceh pada tahun 2010, mendatangi gedung KPK di Jakarta untuk melaporkan lima kasus besar indikasi korupsi di Aceh, salah satunya kasus CT-scan dan MRI RSUZA Banda Aceh.
Namun tiba-tiba Kejati Aceh, pada tahun 2012 menetapkan dua tersangka di kasus ini yakni, Kartini Hutapea, Direktur Utama PT Kamara Idola, sebagai rekanan pengadaan alat medis CT-Scan ini. Kemudian Suryani, yang dalam proyek tersebut menjabat ketua panitia pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2009. Namun terakhir keduanya dinyatakan bebas atau tidak terbukti bersalah oleh majelis hakim di tingkat kasasi.
Penetapan kedua tersangka sebelumnya (kini bebas) ini, juga menjadi tandatanya para aktivis anti korupsi di Aceh. Mereka menganggap ada pihak lain yang lebih bertanggung di kasus tersebut, salah satunya adalah Direktur RSUZA, dr. TM. Namun, sejak tahun 2009 TM terus dipanggil dan diperiksa, di mana yang bersangkutan tidak lagi menjabat sebagai Dirut RSUZA sejak akhir 2012 lalu. Dan, pada 1 Juli 2014 ditetapkan menjadi tersangka. Alamak rumit dan bertele-telenya. Pantas macam anak ayam turun seribu